Berkawan Kita dalam Riset
| |
---|---|
Andrianto Handojo - Ketua Dewan Riset Nasional
Pertanyaan ”Mana hasil riset kita?” kerap dilontarkan. Jika hanya mengenai jumlah, jawaban dapat mengacu, misalnya, pada publikasi hasil riset dalam forum-forum bergengsi. Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Indikator Iptek Indonesia, 2009), pada 2008 terdapat 1.416 artikel ilmuwan Indonesia yang dimuat dalam jurnal internasional, dibandingkan 766 pada 1999. Namun, jawaban menjadi lebih sukar jika ditinjau aspek riset sebagai pemicu dan pendorong teknologi. Kementerian Riset dan Teknologi (Indikator Ekonomi Berbasis Pengetahuan Indonesia, 2010) menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun persentase teknologi tinggi dalam ekspor manufaktur kita tidak melebihi 16,3 persen, dibandingkan Thailand (31 persen) atau Filipina (74 persen). Menurut Dirjen Industri Kecil dan Menengah Euis Saedah (April 2012), dari 10 mobil yang berlintasan di Malaysia, tujuh di antaranya mobil nasional. Ini berbeda dengan Indonesia yang tak menunjukkan satu pun mobil nasional dari 10 yang terlihat. Di samping kemungkinan penyebab lain, pengamatan ini mengisyaratkan kurangnya dukungan riset kita ke arah teknologi. Lembaga Intermediasi Artinya pula, hanya sedikit hasil penelitian yang diindustrikan. Situasi ini sudah banyak diketahui dan lemahnya mata rantai antara riset dan industri dipandang sebagai masalah utama. Maka, sosialisasi hasil penelitian digelar sebagai salah satu usaha remedial. Lembaga intermediasi, yang mempertemukan industriawan dengan peneliti beserta karyanya, didorong untuk dibentuk. Program pendanaan riset tertentu mensyaratkan kemitraan dengan industri yang harus dibuktikan dengan tanda tangan industriawan dalam proposal riset. Semua upaya tersebut perlu, tetapi agaknya harus dilengkapi. Tak sedikit peneliti yang dengan segenap keahlian dan ketekunannya membuahkan hasil riset yang patut dibanggakan dari segi ilmiah, kebaruan, atau inovasi. Namun, ketika ditawarkan, tidak jarang pihak industri menanggapi: ”Bukan itu yang kami butuhkan”. Pihak industri mempunyai alasan sendiri. Mereka mempertimbangkan kelangsungan pasokan bahan baku, peluang pemasaran, keandalan produk nantinya, neraca keuangan, dan sebagainya yang biasanya bermuara pada kesimpulan singkat: terlalu besar risikonya. Di pihak lain, peneliti terlatih secara akademik mengutamakan salah satunya sintesis pemikiran sebagai ukuran kualitas. Kedua kutub cara pendekatan yang berbeda ini tidak mudah dicairkan dalam wadah intermediasi. Dapat saja peneliti ikut mempelajari persoalan industri. Namun, sebagaimana orang tidak bisa menjadi peneliti hebat hanya dengan belajar dari buku atau kursus singkat, ketangguhan menangani masalah industri pun memerlukan pula kesaratan pengalaman. Di sini kita berbicara tentang kedalaman pandang (insight) dan kepekaan rasa (sense), belum tentang jenis dan jenjang pendidikan masing-masing. Tidak berlebihan jika kedua ”kubu”, peneliti dan industriawan, dikatakan memiliki kultur yang berbeda. Saling menyesuaikan Timbul kesulitan jika hasil dari kultur yang satu mesti langsung diaplikasikan oleh kultur yang lain. Apalagi jika tanda ta- ngan industriawan baru dibubuhkan pada proposal riset saat terakhir, gara-gara perkenalannya mungkin baru berusia dua minggu. Sesungguhnya yang penting ialah membentuk kemitraan peneliti-industriawan jauh sebelum hasil riset dicapai, sebelum penelitian dimulai, sebelum proposal disusun, bahkan sebelum ide digagas. Dibutuhkan pemahaman timbal balik tentang keinginan, jalan pikiran, dan cara pendekatan. Bukan dengan maksud meleburnya, melainkan untuk saling menyesuaikan dan memberikan masukan. Mulai dari topik riset harus dipilih dengan serius dan disepakati bersama. Jika pertemanan dapat diwujudkan, pertama, pihak industri semestinya tak segan memberikan dukungan karena ada rasa ikut memiliki sejak awal, bukan kesan mendadak disodori hasilnya. Kedua, kepentingan yang sama menjurus pada saling mengoreksi secara kontinu, ditambah ikhtiar yang padu untuk mengatasi pembiayaan. Ketiga, manakala kemitraan sudah menjadi persahabatan, hambatan psikologis, seperti tentang latar belakang pendidikan, kalau ada, niscaya akan pudar. Namun, syaratnya, perkawanan harus kental, tidak segan meniru kaum bisnis yang fasih menjalin relasi. Misalnya, saling mengundang pada seminar atau acara peluncuran produk pabrik, kunjung-mengunjungi, sore bersama ke kafe. Tidak lupa rajin bertukar bicara lewat telepon, mengirim pesan singkat (SMS), e-mail, atau media komunikasi lain, sekaligus membuat pemakaiannya yang marak menjadi lebih produktif. (Kompas, 31 Mei 2012/ humasristek). |